Pendidikan
dan Komersialisasi
Pendidikan
sendiri di artikan sebagai usaha sadar manusia untuk mencerdaskan suatu bangsa
ataupun masyarakat. Secara umum,
pendidikan memiliki makna yang komplek, yang semuanya itu mengerucut pada satu
pengertian yaitu untuk mencerdaskan, membebaskan dan mencerahkan. Dalam bahasa yunani, pendidikan berasal dari
kata paedagogik yang artinya ilmu menuntun anak. Sedang dalam bahasa Jerman,
pendidikan di definisikan sebagai usaha
untuk membangkitkan kekuatan anak dan menggali potensi yang terpendam di
dalamnya. Jawa, memaknai pendidikan sebagai proses pengolahan, mengubah watak,
mematangkan dan mengubah keribadian sang anak menjadi lebih baik.
Dari
pengertian dasar di atas, sangatlah jelas bahwasannya pendidikan di peruntukan
untuk mengubah baik perilaku, karakter atau watak dari seorang manusia itu
sendiri. Dan usaha itu, di maksudkan jelas untuk menjadikan anak menjadi lebih
dewasa, berkepribadian serta mandiri dalam meniti setiap langkah hidupnya lebih
khusus, mampu mengerjakan sesuatu dengan kemampuan dirinya. John Dewey
mengatakan pula bahwasannya pendidikan merupakan proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam
dan sesama manusia.
Pendapat
di atas, menjelaskan bahwasannya pendidikan memang di tujukan pada usaha sadar
pembentukan kecakapan pada anak, yang di dasarkan pada semangat intelektual
untuk perubahan sosialisasi. Lebih
lanjut pendidikan merupakan sesuatu yang di berikan oleh seorang anak yang nantinya
tidak di dapatkan pada waktu dewasa (JJ. Rousseau). Sederhananya, pada masa
anak-anak, seorang manusia akan di ajarkan tentang ilmu yang nantinya menjadi
bekal, dan itu tidaklah akan di dapat bilamana sudah dewasa. Karena memang
pendidikan pada masa anak itu, di berikan sebagai bekal kelak ketika sudah
dewasa.
Pemahaman
mengenai pendidikan itu akan terbuka lebar bilamana mampu di apresiasikan ke
dalam kehidupan anak yang memang memiliki hak untuk tahu dan belajar. Tidak
lagi mengebiri kepentingan golongan atau pribadi semata, tetapi pendidikan yang
di arahkan pada pencapaian kematangan segala kompetensi akademik, fisik, maupun
sosialisasi. Dan kiranya segala apa yang menjadi pengertian dasar pendidikan
itu di ejawantahkan ke dalam sebuah paradigma pemikiran pengembangan pendidikan
yang di laksanakannya itu agar menjadi pakem lurus dari pendidikan.
Lebih jauh Ki
Hajar Dewantara mengatakan bahwasannya pendidikan itu tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginnya. Ulasan utama yang tersirat dari pemahaman itu,
menegaskan bahwasannya pendidikan itu memang murni menjadi mutlak di berikan
kepada seorang yang bernama anak, yang itu di maksudkan agar si anak mampu
mentransfer hasil pendidikan itu ke dalam ruang dan waktu kehidupannya.
Menjadi
penting dan wajib bagi si anak untuk mendapat hak preogratif belajarnya melalui salah satu media menempa
diri yaitu pendidikan. Sadar atau tidak sadar kebutuhan berpendidikan itu
memang menjadi mutlak dan berlaku bagi setiap insan yang ber-rasa, karsa dan
daya cipta yang di sandangnya. Karena hal ihwal dari misi pendidikan itu, mengambil
sebagian teks dari pengertian pendidikan menurut UU yakni turut aktif mengembangkan
potensi si anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan
sangatlah jelas dan selalu berusaha concern dalam pengembangan segala potensi
yang di miliki dari seorang peserta didik. Pendidikan tidak hanya membekali si
anak untuk cerdas dalam menjawab pertanyaan, atau untuk sekedar mengisi sebuah
isian, tetapi pendidikan multi aspek artinya banyak yang harus di sampaikan
kepada anak didik, mulai dari pengetahuan, karakter, maupun managemen rasa.
Berbicara
tentang komersialisasi berarti berbicara tentang penyelewengan terhadap system
untuk sebuah kepentingan. Menilik pendidikan yang sekarang ini, cenderung semua
nya secara sengaja di manfaatkan sebagai sesuatu yang di perdagangkan, di
perjualbelikan ataupun di pasarkan. Lebih sempit arti komersialisasi Pendidikan
berarti menjadikan dagangan atas setiap yang ada dalam pendidikan itu sendiri.
Komersialisasi
ini, bukan lagi menjadi kata yang tabu apalagi bagi sejumlah kalangan aktivis,
akan tetapi komersialisasi ini sudah menjadi kebiasaan bahkan sudah menjadi
tradisi yang terjadi seakan tanpa henti. Komersialisasi sepertinya sudah
menjadi bagian yang terpisahkan dan cenderung mendarahdaging pada pelaksana
sebuah institusi yang namanya pendidikan. Dan mendasarnya, komersialisasi itu
di ibaratkan sebagai anggapan untuk menjual ataupun memperdagangkan apa-apa
yang bisa untuk di komersilkan.
Dan
jelas komersialisasi ini, sangatlah sudah menyalahi amanat konstitusi dan
kebijakan tujuan di dirikannya lembaga pendidikan. Pendidikan mustinya menjadi
media atau jalan untuk mengapresiasi setiap potensi dan karakteristik obyek
pendidikan, akan tetapi akan lebih kabur dan bahkan tidak jelas arah geraknya.
Awal mula lembaga pendidikan itu, sejatinya untuk menggandeng segala lini
masyarakat yang kurang dan terasa terpinggirkan untuk bisa menyalurkan segala
upaya yang demi menjadi orang yang berpengetahuan.
Tapi,
itu semua akan menjadi mimpi yang selalu mengahantui, bilamana komersialisasi
ini sudah menjadi mindset pada sebuah institusi pendidikan. Hak
memperoleh pendidikan yang layak, kini tercerabut hanya karena ada kepentingan
pribadi/golongan di institusi itu. Dan itu adalah kejahatan yang luar biasa,
karena merampas hak seorang manusia demi sebuah kepuasaan sepintas dari manusia
rakus dan keji.
Bayangkan, hanya ingin bisa sebuah
perguruan tinggi, seseorang harus membayar sejumlah uang yang tidak jelas
alokasi nya hanya untuk bisa lulus seleksi pendaftaran ataupun lulus tes
masuknya. Tidak segan-segan dalam mematok nominalnya, puluhan juta pun bisa di dapatkan oleh sebuah
lembaga pendidikan itu. Secara sadar, mungkin tidak terasa di mana letak
kebrutalannya, hanya memandan itulah yang sudah menjadi kewajiban yang memang
harus di setorkan. Sekali lagi, perlu di ingatkan bahwasannya tujuan pendidikan
nasional itu hanyalah untuk mencerdaskan anak bangsa yang harus tidak membebani
setiap lapisan masyarakat.
Kalau di lihat dengan semakin
banyaknya lembaga pendidikan di sebuah perkotaan, sekilas tampak menunjukan
sebuah kemajuan, akan tetapi di balik itu semua tidak sedikit yang hanya mengedepankan
financial tanpa melihat mutu yang harus di kembangkan di lembaga itu. Untuk
bisa masuk dalam institusi itu, haruslah punya anggaran yang lebih. Akan tetapi
kualitas itu di prioritaskan nomer 2, yang penting modal telah di dapat. Cara
inilah yang lambat laun akan merusak tatanan kualitas lembaga pendidikan di
Indonesia.
Bagi mereka yang berduit mungkin
tidak masalah, karena mereka selalu mendapat kiriman ataupun hanya tinggal
mengambil di ATM, tapi mereka yang hanya mengandalkan kemampuan berpikir dan
financial yang pas, tentunya akan menmberatkan bahkan mengsengsarakan . Di
sinilah sisi kejamnya komersialisasi pendidikan dan cita-cita mereka
tergadaikan oleh lembaran-lembaran yang siap menyingkirkan mereka yang tidak
mampu sejajar dengan kaum borjuis. Akhirnya kebebasan untuk memperoleh semua
akses pendidikan bagi rakyat semakin suram, dan tidak mustahil pada saatnya
kemunduran pendidikan Indonesia akan benar-benar terjadi.
Semestinya visi dari sebuah
institusi Pendidikan adalah berprinsip pada asas kebebasan, kepedulian dan
kesejahteraan bagi mereka yang ingin memperoleh hak belajarnya. Dengan prinsip
nirlaba maka lembaga pendidikan itu di arahkan untuk menjadi media mengantar
mereka memenuhi haknya. Pelaksana pendidikan yang memiliki orientasi bahwasannya
institusi pendidikan itu hanya sebagai lahan bisnis, maka harus merumuskan
orientasi itu kembali kepada semangat pemberdayaan potensi.
Maka dari itu, seiring berjalannya
waktu, pendidikan tidak lagi berpihak pada masyarakat menengah kebawah, tetapi
sudah melupakan amanat konstitusi dan pancasila yang bahasanya seakan mendukung
kesejahteraan rakyat. Dan pastinya, system pendidikan yang hari ini di
selewengkan lambat laun akan menjadi bom waktu, yang siap mengubur hangus
kualitas pendidikan di Indonesia. Otomatis ruang public pendidikan yang
sedianya untuk masyarakat kini tidak lagi tampak dan hanya mereka yang mampu
yang dapat merasakannya.
Sangat jelas, konsekuensi dari
adanya komersialisasi adalah semakin banyaknya anak putus sekolah di samping
memiskinkan manusia. Berdasarkan data, Dana Bos pada tahun 2010 hanya bisa
mengcover 70% dana Pendidikan. Dan imbasnya, 1,5 siswa SD keluar (Droup Out)
dan lainnya sejumlah 8,87 persen anak tidak melanjutkan dari 31 juta orang. Untuk
SMP sebesar 1,61 mereka Drop Out, sisanya sebanyak 21,13 tidak
melanjutkan alias putus sekolah. Berlanjut ke SMA bahwa sebanyak 2,86 mereka Drop
Out, dan 33,11 lainnya tidak melanjutkan. Sangat Ironis.
Pemerintah lewat Dana BOS-nya yang
berharap bisa membantu mereka yang kesulitan finansial, seakan sulit untuk
terrealisasi. Berdasar Data, bahwasannya APBN untuk sektor pendidikan pada
tahun mencapai hingga 225 triliun dan terjadi kenaikan pada tahun 2011 sebesar
249 triliun dan kenaikan terjadi pada tahun 2012 sekarang ini menjadi 286
triliun. Akan tetapi dengan adanya bantuan BOS ini tidaklah bisa mencegah
praktek komersialisasi di sekolah-sekolah dengan di tandai oleh kewajiban siswa
untuk membayar iuran ini dan itu (sekolah). Dan sangat di
rasakan oleh sekolah-sekolah bahwa distribusi dana BOS itu terkesan sangat
lambat. Akhirnya sekolahlah yang harus mengakalinya.
Untuk meminimalisir angka putus
sekolah seperti yang di katakan oleh M.Nuh (Mendikbud) bahwa pada tahun
2012 akan di planningkan jargon wajib belajar 12 tahun, jadi Dana
BOS pun akan di rasakan oleh pelajar SMA. Sebagai analisis terlebih dahulu
membenahi kesalaha-kesalahan sistem pendidikan tahun yang lalu. Itu yang
kiranya perlu di revitalisasi untuk perbaikan ke depan, tidak hanya berusaha
mengganti sistem yang ada, tetapi lebih penting untuk memperbaikinya.
Komersialisasi adalah keji. Analisis
di lapangan dana BOS seakan sulit untuk bisa mengurangi komersialiasi
pendidikan yang terjadi bilamana stackholder yang ada tidak saling
berinisiatif untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Semua usaha akan
sia-sia bila pelaku pendidikan dan pembuat kebijakan sudah terlebih dahulu
mengesampingkan nilai-nilai luhur amanat konstitusi maupun pendidikan. Sederhananya, bila ingin mengadakan sebuah
perubahan yang signifikan maka perlu transformasi diri bagi pelaku pendidikan yang
di utamakan.
Berbicara pendidikan, maka berbicara
tentang sesuatu yang komplek pembahasan. Dari sini kita bisa melihat betapa
banyaknya penyakit di tubuh pendidikan Indonesia, mulai dari mutu/kualitas,
sistem, bahkan pada teknis di lapangan yang meliputi sarana dan prasarana.
Menilik pendidikan Indonesia pada era abad 21 ini, bukan malah bertambah baik
tapi semakin memprihatinkan dan itu bisa di lihat dari berbagai penelitian yang
ada.
Melihat kualitas pendidikan
Indonesia yang sudah melewati masa orde lama dan baru ini, berdasarkan data
survei yang di lakukan oleh Political and Economic Risk Colsutant menegaskan
bahwasannya kualitas pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 12 dari 12
negara di Asia. Itu artinya bargaining pendidikan Indonesia sangatlah
memprihatinkan. Dan ini semua tidaklah lepas dari komersialisai pendidikan yang
merupakan satu dari sekian banyak problem pendidikan Indonesia.
Kemudian menilik fisik bangunan
sekolah, sangatlah miris. Pasalnya tidak sedikit bangunan fisik sekolah yang
tidak layak lagi di jadikan tempat belajar bagi anak bangsa dan itu tidak hanya
ada di pelosok negeri, di tanah ibu kotapun banyak di jumpai. Siapa yang mau di
salahkan, tentunya pembuat dan penentu kebijakan. Semuanya berawal dari
segelintir orang yang mengkomersilkan pendidikan secara brutal. Nurani mereka
tidak lagi memperhatikan hak rakyat miskin yang haus akan pengetahuan dan
bangku sekolah.
Akhirnya fungsi pendidikan harus di
bedah kembali demi menjelaskan makna pendidikan yang sebenarnya. Di antara
fungsi itu pendidikan sebagai penegak nilai-nilai yang ada di masyarakat. Artinya,
pendidikan sudah menjadi media yang tepat untuk melestarikan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat, tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu atau transfer
knowledge. Kemudian, peran itu setidaknya di manfaatkan maksimal demi
tercapai tujuan yang di harapkan masyarakat.
Pendidikan juga berfungsi sebagai
sarana pengembang masyarakat. Pendidikan menjadi media penting dalam
mempengaruhi potensi yang ada di masyarakat dengan memadukan antara pengetahuan
teori di dalam pendidikan dengan pengetahuan real di masyarakat. Selain itu
fungsi pendidikan juga sebagai pengembang potensi dari subjek pendidikan atau
manusia itu sendiri. Ini sangat relevan dengan tujuan pendidikan secara umum
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini semua yang harus di kembalikan pada
citra pendidikan yang sebenarnya, demi terbukanya kembali pendidikan sebagai
ruang public yang dapat di akses oleh siapa saja tanpa ada diskriminasi.
Mengurai masalah pendidikan
Indonesia di ibaratkan seperti menarik benang hitam yang terdapat di oli di
malam hari gelap gulita, artinya sulit sekali menemukan ujungnya.
Komersialisasi pendidikan tidak hanya terjadi di tingkatan sekolah saja, di
perguruna tinggi pun sudah marak terjadi. Bayangkan, hanya untuk mendapatkan blanko
pendaftaran, mahasiswa di paksa untuk membayar biaya yang tidak kecil, dari
ratusan ribu sampai puluhan juta. Belum nanti, ketika sudah menjadi mahasiswa
yang lolos seleksi. Dan biaya pendidikan sepenuhnya di bebankan kepada
mahasiswa tanpa ada subsidi dari kampus tersebut. Sekali lagi, biaya tinggi
tidak menjadi masalah bagi yang memiliki orang tua yang mampu, tapi praktiknya
hampir 50% lebih, status mahasiswa adalah berasal dari orang yang tidak mampu.
Mengapa biaya pendidikan itu mahal,
karena anggaran yang di berikan pemerintah sedikit. Meskipun sudah di anggarkan
dalam APBN sebesar 20%, fakattnya semuanya tidak di salurkan meskipun tersalurkan
tentu tidak utuh alias sudah di komersilkan terlebih dahulu. Adanya
diskriminasi bagi masyarakat kecil tentunya yang akan menjadi imbasnya. Tetapi
perjuangan masyarakat marginal dalam memperjuangkan sebuah pendidikan
sangat berbanding terbalik dengan mereka yang berduit. Karena mereka menyadari
betul, pendidikan yang di dapatnya itu tidak mudah untuk di lalui. Dan penulis
pikir itu akan memiliki lebih banyak hikmah, ketimbang pendidikan masyarakat borjuis.
Dari itu semua, Indeks Pengembangan Manusia di Indonesia sangat
memprihatinkan akibat dari pendidikan yang memprihatinkan pula. Berdasarkan
data UNESCO (2000) indeks pengembangan
manusia Indonesia tergolong mulai menurun, mulai dari pendidikan, kesehatan, pendapatan
perkapita dengan menempati posisi ke 102 dari 174 negara (1996), ke 99 (1997),
ke 105 (1998) dan ke 109 (1999). Dan ini sudah tahun 2012, apakah semakin
menurun, tentunya kita bisa menilai dengan seksama. Dan yang menjadi masalah
saat ini, adalah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia baik yang formal,
non formal maupun informal, dan ini di ketahui setelah kita membandingkan
dengan mutu pendidikan di negara lain.
Dan pastinya komersialisasi
pendidikan tidak hanya memunculkan generasi lemah potensi tetapi lebih luas
pada sistem pendidikan nya. Ini terlihat jelas dengan munculnya berbagai
masalah pendidikan di Indonesia. Mahalnya pendidikan tidak di iringi dengan
mutu pendidikannya. Di antara problem serius pendidikan Indonesia:
1.
Rendahnya sarana fisik
2.
Rendahnya kulitas guru
3.
Rendahnya kesejahteraan
guru
4.
Rendahnya kesempatan
pemerataan pendidikan
5.
Rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan
6.
Mahalnya biaya Pendidikan
Dari
sekian banyak problem yang ada, tentunya menjadi perhatian yang serius bagi
segala pihak. Di akui atau tidak di akui, problem ini sudah akut dan seakan
sudah gagal sebelum di reparasi. Dengan munculnya RUU BHP semakin menambah
panjang penderitaan rakyat kecil. Privatisasi pendidikan menjadi bukti bahwa
negara semakin tidak lagi peduli dengan pendidikan, karena privatisasi ini
memberi kesempatan yang besar bagi pemilik modal yang kemudian akan memunculkan
komersialisasi pendidikan yang semakin menegaskan bahwa orang miskin di larang
sekolah.
Pendidikan yang berkualitas itu
mahal. Itu yang menjadi steorotip bagi pelaku pendidikan dan semakin menjauhkan
masyarakat kecil dari ruang publik yang semestinya di dapat. RSBI adalah proyek
pemerintah untuk pendidikan yang berbasis tekhnologi dengan maksud sebagai
tempat sekolah bagi mereka yang bermodal dan sengaja untuk menjauhkan si miskin
dari haknya. RSBI sekolah unggulan, biayanya pun tidak murah. Tetapi di balik itu, RSBI punya kelemahan
banyak. Kelemahan yang jelas, memaksa rakyat kecil untuk sekolah dengan susah
payah atau tidak bersekolah. Semua itu di kembalikan kepada pemerintah yang
sudah menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis bagi pemilik modal.
Pendidikan adalah tanggunjawab
pemerintah. Meskipun sekolah tidak bisa gratis paling tidak bisa murah dan bisa
di jangkau oleh semua kalangan. Sebagai refleksi, di Venezuela dengan
presidennya Fidel Castro, mampu menggratiskan pendidikan bagi warganya dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Aneh, tapi itulah adanya. Tapi coba kita
lihat di Indonesia adakah sekolah yang gratis atau kuliah gratis, meskipun
adanya BOS atau beasiswa tetap saja ada iuran yang harus di bayarkan dengan
berkedok sebagai sumbangan sukarela. Meskipun sukarela, tetapi jumlah
sumbangannya di tentukan besarnya dan tepatnya ini bukan sumbangan sukarela
tapi sumbangan wajib. Pertanyaannya? kenapa indonesi tidak bisa menjamin
pendidikan bagi warganya seperti Venezuela.