Selasa, 17 April 2012

Pendidikan dan Komersialisasi



            Pendidikan dan Komersialisasi

Pendidikan sendiri di artikan sebagai usaha sadar manusia untuk mencerdaskan suatu bangsa ataupun masyarakat.  Secara umum, pendidikan memiliki makna yang komplek, yang semuanya itu mengerucut pada satu pengertian yaitu untuk mencerdaskan, membebaskan dan  mencerahkan.  Dalam bahasa yunani, pendidikan berasal dari kata paedagogik yang artinya ilmu menuntun anak. Sedang dalam bahasa Jerman, pendidikan di definisikan sebagai  usaha untuk membangkitkan kekuatan anak dan menggali potensi yang terpendam di dalamnya. Jawa, memaknai pendidikan sebagai proses pengolahan, mengubah watak, mematangkan dan mengubah keribadian sang anak menjadi lebih baik.
Dari pengertian dasar di atas, sangatlah jelas bahwasannya pendidikan di peruntukan untuk mengubah baik perilaku, karakter atau watak dari seorang manusia itu sendiri. Dan usaha itu, di maksudkan jelas untuk menjadikan anak menjadi lebih dewasa, berkepribadian serta mandiri dalam meniti setiap langkah hidupnya lebih khusus, mampu mengerjakan sesuatu dengan kemampuan dirinya. John Dewey mengatakan pula bahwasannya pendidikan merupakan proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
Pendapat di atas, menjelaskan bahwasannya pendidikan memang di tujukan pada usaha sadar pembentukan kecakapan pada anak, yang di dasarkan pada semangat intelektual untuk perubahan sosialisasi.  Lebih lanjut pendidikan merupakan sesuatu yang di berikan oleh seorang anak yang nantinya tidak di dapatkan pada waktu dewasa (JJ. Rousseau). Sederhananya, pada masa anak-anak, seorang manusia akan di ajarkan tentang ilmu yang nantinya menjadi bekal, dan itu tidaklah akan di dapat bilamana sudah dewasa. Karena memang pendidikan pada masa anak itu, di berikan sebagai bekal kelak ketika sudah dewasa.
Pemahaman mengenai pendidikan itu akan terbuka lebar bilamana mampu di apresiasikan ke dalam kehidupan anak yang memang memiliki hak untuk tahu dan belajar. Tidak lagi mengebiri kepentingan golongan atau pribadi semata, tetapi pendidikan yang di arahkan pada pencapaian kematangan segala kompetensi akademik, fisik, maupun sosialisasi. Dan kiranya segala apa yang menjadi pengertian dasar pendidikan itu di ejawantahkan ke dalam sebuah paradigma pemikiran pengembangan pendidikan yang di laksanakannya itu agar menjadi pakem lurus dari pendidikan.   
Lebih jauh Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwasannya pendidikan itu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginnya. Ulasan utama yang tersirat dari pemahaman itu, menegaskan bahwasannya pendidikan itu memang murni menjadi mutlak di berikan kepada seorang yang bernama anak, yang itu di maksudkan agar si anak mampu mentransfer hasil pendidikan itu ke dalam ruang dan waktu kehidupannya.
Menjadi penting dan wajib bagi si anak untuk mendapat hak preogratif  belajarnya melalui salah satu media menempa diri yaitu pendidikan. Sadar atau tidak sadar kebutuhan berpendidikan itu memang menjadi mutlak dan berlaku bagi setiap insan yang ber-rasa, karsa dan daya cipta yang di sandangnya. Karena hal ihwal dari misi pendidikan itu, mengambil sebagian teks dari pengertian pendidikan menurut UU yakni turut aktif mengembangkan potensi si anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.   
Pendidikan sangatlah jelas dan selalu berusaha concern dalam pengembangan segala potensi yang di miliki dari seorang peserta didik. Pendidikan tidak hanya membekali si anak untuk cerdas dalam menjawab pertanyaan, atau untuk sekedar mengisi sebuah isian, tetapi pendidikan multi aspek artinya banyak yang harus di sampaikan kepada anak didik, mulai dari pengetahuan, karakter,  maupun managemen rasa.
Berbicara tentang komersialisasi berarti berbicara tentang penyelewengan terhadap system untuk sebuah kepentingan. Menilik pendidikan yang sekarang ini, cenderung semua nya secara sengaja di manfaatkan sebagai sesuatu yang di perdagangkan, di perjualbelikan ataupun di pasarkan. Lebih sempit arti komersialisasi Pendidikan berarti menjadikan dagangan atas setiap yang ada dalam pendidikan itu sendiri.
Komersialisasi ini, bukan lagi menjadi kata yang tabu apalagi bagi sejumlah kalangan aktivis, akan tetapi komersialisasi ini sudah menjadi kebiasaan bahkan sudah menjadi tradisi yang terjadi seakan tanpa henti. Komersialisasi sepertinya sudah menjadi bagian yang terpisahkan dan cenderung mendarahdaging pada pelaksana sebuah institusi yang namanya pendidikan. Dan mendasarnya, komersialisasi itu di ibaratkan sebagai anggapan untuk menjual ataupun memperdagangkan apa-apa yang bisa untuk di komersilkan.
Dan jelas komersialisasi ini, sangatlah sudah menyalahi amanat konstitusi dan kebijakan tujuan di dirikannya lembaga pendidikan. Pendidikan mustinya menjadi media atau jalan untuk mengapresiasi setiap potensi dan karakteristik obyek pendidikan, akan tetapi akan lebih kabur dan bahkan tidak jelas arah geraknya. Awal mula lembaga pendidikan itu, sejatinya untuk menggandeng segala lini masyarakat yang kurang dan terasa terpinggirkan untuk bisa menyalurkan segala upaya yang demi menjadi orang yang berpengetahuan.
Tapi, itu semua akan menjadi mimpi yang selalu mengahantui, bilamana komersialisasi ini sudah menjadi mindset pada sebuah institusi pendidikan. Hak memperoleh pendidikan yang layak, kini tercerabut hanya karena ada kepentingan pribadi/golongan di institusi itu. Dan itu adalah kejahatan yang luar biasa, karena merampas hak seorang manusia demi sebuah kepuasaan sepintas dari manusia rakus dan keji.
            Bayangkan, hanya ingin bisa sebuah perguruan tinggi, seseorang harus membayar sejumlah uang yang tidak jelas alokasi nya hanya untuk bisa lulus seleksi pendaftaran ataupun lulus tes masuknya. Tidak segan-segan dalam mematok nominalnya,  puluhan juta pun bisa di dapatkan oleh sebuah lembaga pendidikan itu. Secara sadar, mungkin tidak terasa di mana letak kebrutalannya, hanya memandan itulah yang sudah menjadi kewajiban yang memang harus di setorkan. Sekali lagi, perlu di ingatkan bahwasannya tujuan pendidikan nasional itu hanyalah untuk mencerdaskan anak bangsa yang harus tidak membebani setiap lapisan masyarakat.
            Kalau di lihat dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan di sebuah perkotaan, sekilas tampak menunjukan sebuah kemajuan, akan tetapi di balik itu semua tidak sedikit yang hanya mengedepankan financial tanpa melihat mutu yang harus di kembangkan di lembaga itu. Untuk bisa masuk dalam institusi itu, haruslah punya anggaran yang lebih. Akan tetapi kualitas itu di prioritaskan nomer 2, yang penting modal telah di dapat. Cara inilah yang lambat laun akan merusak tatanan kualitas lembaga pendidikan di Indonesia.
            Bagi mereka yang berduit mungkin tidak masalah, karena mereka selalu mendapat kiriman ataupun hanya tinggal mengambil di ATM, tapi mereka yang hanya mengandalkan kemampuan berpikir dan financial yang pas, tentunya akan menmberatkan bahkan mengsengsarakan . Di sinilah sisi kejamnya komersialisasi pendidikan dan cita-cita mereka tergadaikan oleh lembaran-lembaran yang siap menyingkirkan mereka yang tidak mampu sejajar dengan kaum borjuis. Akhirnya kebebasan untuk memperoleh semua akses pendidikan bagi rakyat semakin suram, dan tidak mustahil pada saatnya kemunduran pendidikan Indonesia akan benar-benar terjadi.
            Semestinya visi dari sebuah institusi Pendidikan adalah berprinsip pada asas kebebasan, kepedulian dan kesejahteraan bagi mereka yang ingin memperoleh hak belajarnya. Dengan prinsip nirlaba maka lembaga pendidikan itu di arahkan untuk menjadi media mengantar mereka memenuhi haknya. Pelaksana pendidikan yang memiliki orientasi bahwasannya institusi pendidikan itu hanya sebagai lahan bisnis, maka harus merumuskan orientasi itu kembali kepada semangat pemberdayaan potensi.
            Maka dari itu, seiring berjalannya waktu, pendidikan tidak lagi berpihak pada masyarakat menengah kebawah, tetapi sudah melupakan amanat konstitusi dan pancasila yang bahasanya seakan mendukung kesejahteraan rakyat. Dan pastinya, system pendidikan yang hari ini di selewengkan lambat laun akan menjadi bom waktu, yang siap mengubur hangus kualitas pendidikan di Indonesia. Otomatis ruang public pendidikan yang sedianya untuk masyarakat kini tidak lagi tampak dan hanya mereka yang mampu yang dapat merasakannya.
            Sangat jelas, konsekuensi dari adanya komersialisasi adalah semakin banyaknya anak putus sekolah di samping memiskinkan manusia. Berdasarkan data, Dana Bos pada tahun 2010 hanya bisa mengcover 70% dana Pendidikan. Dan imbasnya, 1,5 siswa SD keluar (Droup Out) dan lainnya sejumlah 8,87 persen anak tidak melanjutkan dari 31 juta orang. Untuk SMP sebesar 1,61 mereka Drop Out, sisanya sebanyak 21,13 tidak melanjutkan alias putus sekolah. Berlanjut ke SMA bahwa sebanyak 2,86 mereka Drop Out, dan 33,11 lainnya tidak melanjutkan. Sangat Ironis.
            Pemerintah lewat Dana BOS-nya yang berharap bisa membantu mereka yang kesulitan finansial, seakan sulit untuk terrealisasi. Berdasar Data, bahwasannya APBN untuk sektor pendidikan pada tahun mencapai hingga 225 triliun dan terjadi kenaikan pada tahun 2011 sebesar 249 triliun dan kenaikan terjadi pada tahun 2012 sekarang ini menjadi 286 triliun. Akan tetapi dengan adanya bantuan BOS ini tidaklah bisa mencegah praktek komersialisasi di sekolah-sekolah dengan di tandai oleh kewajiban siswa untuk membayar iuran ini dan itu (sekolah). Dan sangat di rasakan oleh sekolah-sekolah bahwa distribusi dana BOS itu terkesan sangat lambat. Akhirnya sekolahlah yang harus mengakalinya.
            Untuk meminimalisir angka putus sekolah seperti yang di katakan oleh M.Nuh (Mendikbud) bahwa pada tahun 2012 akan di planningkan jargon wajib belajar 12 tahun, jadi Dana BOS pun akan di rasakan oleh pelajar SMA. Sebagai analisis terlebih dahulu membenahi kesalaha-kesalahan sistem pendidikan tahun yang lalu. Itu yang kiranya perlu di revitalisasi untuk perbaikan ke depan, tidak hanya berusaha mengganti sistem yang ada, tetapi lebih penting untuk memperbaikinya.
            Komersialisasi adalah keji. Analisis di lapangan dana BOS seakan sulit untuk bisa mengurangi komersialiasi pendidikan yang terjadi bilamana stackholder yang ada tidak saling berinisiatif untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Semua usaha akan sia-sia bila pelaku pendidikan dan pembuat kebijakan sudah terlebih dahulu mengesampingkan nilai-nilai luhur amanat konstitusi maupun pendidikan.  Sederhananya, bila ingin mengadakan sebuah perubahan yang signifikan maka perlu transformasi diri bagi pelaku pendidikan yang di utamakan.
            Berbicara pendidikan, maka berbicara tentang sesuatu yang komplek pembahasan. Dari sini kita bisa melihat betapa banyaknya penyakit di tubuh pendidikan Indonesia, mulai dari mutu/kualitas, sistem, bahkan pada teknis di lapangan yang meliputi sarana dan prasarana. Menilik pendidikan Indonesia pada era abad 21 ini, bukan malah bertambah baik tapi semakin memprihatinkan dan itu bisa di lihat dari berbagai penelitian yang ada.
            Melihat kualitas pendidikan Indonesia yang sudah melewati masa orde lama dan baru ini, berdasarkan data survei yang di lakukan oleh Political and Economic Risk Colsutant menegaskan bahwasannya kualitas pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Itu artinya bargaining pendidikan Indonesia sangatlah memprihatinkan. Dan ini semua tidaklah lepas dari komersialisai pendidikan yang merupakan satu dari sekian banyak problem pendidikan Indonesia.
            Kemudian menilik fisik bangunan sekolah, sangatlah miris. Pasalnya tidak sedikit bangunan fisik sekolah yang tidak layak lagi di jadikan tempat belajar bagi anak bangsa dan itu tidak hanya ada di pelosok negeri, di tanah ibu kotapun banyak di jumpai. Siapa yang mau di salahkan, tentunya pembuat dan penentu kebijakan. Semuanya berawal dari segelintir orang yang mengkomersilkan pendidikan secara brutal. Nurani mereka tidak lagi memperhatikan hak rakyat miskin yang haus akan pengetahuan dan bangku sekolah.
            Akhirnya fungsi pendidikan harus di bedah kembali demi menjelaskan makna pendidikan yang sebenarnya. Di antara fungsi itu pendidikan sebagai penegak nilai-nilai yang ada di masyarakat. Artinya, pendidikan sudah menjadi media yang tepat untuk melestarikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu atau transfer knowledge. Kemudian, peran itu setidaknya di manfaatkan maksimal demi tercapai tujuan yang di harapkan masyarakat.
            Pendidikan juga berfungsi sebagai sarana pengembang masyarakat. Pendidikan menjadi media penting dalam mempengaruhi potensi yang ada di masyarakat dengan memadukan antara pengetahuan teori di dalam pendidikan dengan pengetahuan real di masyarakat. Selain itu fungsi pendidikan juga sebagai pengembang potensi dari subjek pendidikan atau manusia itu sendiri. Ini sangat relevan dengan tujuan pendidikan secara umum yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini semua yang harus di kembalikan pada citra pendidikan yang sebenarnya, demi terbukanya kembali pendidikan sebagai ruang public yang dapat di akses oleh siapa saja tanpa ada diskriminasi.
            Mengurai masalah pendidikan Indonesia di ibaratkan seperti menarik benang hitam yang terdapat di oli di malam hari gelap gulita, artinya sulit sekali menemukan ujungnya. Komersialisasi pendidikan tidak hanya terjadi di tingkatan sekolah saja, di perguruna tinggi pun sudah marak terjadi. Bayangkan, hanya untuk mendapatkan blanko pendaftaran, mahasiswa di paksa untuk membayar biaya yang tidak kecil, dari ratusan ribu sampai puluhan juta. Belum nanti, ketika sudah menjadi mahasiswa yang lolos seleksi. Dan biaya pendidikan sepenuhnya di bebankan kepada mahasiswa tanpa ada subsidi dari kampus tersebut. Sekali lagi, biaya tinggi tidak menjadi masalah bagi yang memiliki orang tua yang mampu, tapi praktiknya hampir 50% lebih, status mahasiswa adalah berasal dari orang yang tidak mampu.
            Mengapa biaya pendidikan itu mahal, karena anggaran yang di berikan pemerintah sedikit. Meskipun sudah di anggarkan dalam APBN sebesar 20%, fakattnya semuanya tidak di salurkan meskipun tersalurkan tentu tidak utuh alias sudah di komersilkan terlebih dahulu. Adanya diskriminasi bagi masyarakat kecil tentunya yang akan menjadi imbasnya. Tetapi perjuangan masyarakat marginal dalam memperjuangkan sebuah pendidikan sangat berbanding terbalik dengan mereka yang berduit. Karena mereka menyadari betul, pendidikan yang di dapatnya itu tidak mudah untuk di lalui. Dan penulis pikir itu akan memiliki lebih banyak hikmah, ketimbang pendidikan masyarakat borjuis.     
            Dari itu semua, Indeks  Pengembangan Manusia di Indonesia sangat memprihatinkan akibat dari pendidikan yang memprihatinkan pula. Berdasarkan data  UNESCO (2000) indeks pengembangan manusia Indonesia tergolong mulai menurun, mulai dari pendidikan, kesehatan, pendapatan perkapita dengan menempati posisi ke 102 dari 174 negara (1996), ke 99 (1997), ke 105 (1998) dan ke 109 (1999). Dan ini sudah tahun 2012, apakah semakin menurun, tentunya kita bisa menilai dengan seksama. Dan yang menjadi masalah saat ini, adalah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia baik yang formal, non formal maupun informal, dan ini di ketahui setelah kita membandingkan dengan mutu pendidikan di negara lain.
            Dan pastinya komersialisasi pendidikan tidak hanya memunculkan generasi lemah potensi tetapi lebih luas pada sistem pendidikan nya. Ini terlihat jelas dengan munculnya berbagai masalah pendidikan di Indonesia. Mahalnya pendidikan tidak di iringi dengan mutu pendidikannya. Di antara problem serius pendidikan Indonesia:

1.     Rendahnya  sarana fisik
2.     Rendahnya kulitas guru
3.     Rendahnya kesejahteraan guru
4.     Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
5.     Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
6.     Mahalnya biaya Pendidikan
            Dari sekian banyak problem yang ada, tentunya menjadi perhatian yang serius bagi segala pihak. Di akui atau tidak di akui, problem ini sudah akut dan seakan sudah gagal sebelum di reparasi. Dengan munculnya RUU BHP semakin menambah panjang penderitaan rakyat kecil. Privatisasi pendidikan menjadi bukti bahwa negara semakin tidak lagi peduli dengan pendidikan, karena privatisasi ini memberi kesempatan yang besar bagi pemilik modal yang kemudian akan memunculkan komersialisasi pendidikan yang semakin menegaskan bahwa orang miskin di larang sekolah.
            Pendidikan yang berkualitas itu mahal. Itu yang menjadi steorotip bagi pelaku pendidikan dan semakin menjauhkan masyarakat kecil dari ruang publik yang semestinya di dapat. RSBI adalah proyek pemerintah untuk pendidikan yang berbasis tekhnologi dengan maksud sebagai tempat sekolah bagi mereka yang bermodal dan sengaja untuk menjauhkan si miskin dari haknya. RSBI sekolah unggulan, biayanya pun tidak murah.  Tetapi di balik itu, RSBI punya kelemahan banyak. Kelemahan yang jelas, memaksa rakyat kecil untuk sekolah dengan susah payah atau tidak bersekolah. Semua itu di kembalikan kepada pemerintah yang sudah menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis bagi pemilik modal.
            Pendidikan adalah tanggunjawab pemerintah. Meskipun sekolah tidak bisa gratis paling tidak bisa murah dan bisa di jangkau oleh semua kalangan. Sebagai refleksi, di Venezuela dengan presidennya Fidel Castro, mampu menggratiskan pendidikan bagi warganya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Aneh, tapi itulah adanya. Tapi coba kita lihat di Indonesia adakah sekolah yang gratis atau kuliah gratis, meskipun adanya BOS atau beasiswa tetap saja ada iuran yang harus di bayarkan dengan berkedok sebagai sumbangan sukarela. Meskipun sukarela, tetapi jumlah sumbangannya di tentukan besarnya dan tepatnya ini bukan sumbangan sukarela tapi sumbangan wajib. Pertanyaannya? kenapa indonesi tidak bisa menjamin pendidikan bagi warganya seperti Venezuela.

Tidak ada komentar: