Jumat, 17 Februari 2012

Mahasiswa Kritis, Meretas Kreatifitas


MAHASISWA KRITIS, MERETAS KREATIFITAS.
By: Mudiyanto

Mahasiswa kalau diartikan secara sederhana artinya maha yakni besar, dan siswa artinya pelajar, jadi Mahasiswa itu siswa yang besar. Karena secara hierarkis pendidikan, mahasiswa ini sudah menempuh wajib belajar 9 tahun. Besar disini, bukan di artikan secara fisikly (berat, besar, atau tinggi) akan tetapi besar di sini di artikan sebagai siswa yang memiliki pemikiran (intelektual) yang lebih matang/kritis.  Sejatinya, mahasiswa secara pemikiran harus sudah di arahkan ke ranah itu, tidak lagi manja apa lagi merengek minta di kerjakan tugas kuliahnya.
Sedikit banyak mengulas sejarah tahun 1998, semangat Reformasi. Pada masa reformasi tahun 1998, mahasiswa menjadi salah satu gerbong alat pemusnah kekuasaan rezim soeharto yang sudah mengakar selama 32 tahun lamanya. Tidak bisa di pungkiri, aktor reformasi pada masa itu di dalangi oleh mahasiswa. Tajam pemikiran, analisis kuat, dan praksis konkret sudah menjadi bagian dari identitas mahasiswa pada era itu. Dengan semangat revitalisasi birokrasi, yang kala itu tertanam kuat di kepala mereka dan menjadi paradigma baru, membuat rezim soeharto kalang kabut.
Kita tinggalkan sejenak sejarah itu. Dari sikap kritis mahasiswa, saya pikir budaya akademik sangatlah penting menjadi bagian dari brand pemikiran itu. Budaya akademik itu diartikan sebagai suatu sikap hidup yang ditandai oleh keinginan serta usaha untuk mengetahui sesuatu yang baru dan benar, untuk memajukan ilmu pengetahuan, untuk mencari kebenaran. Dalam kehidupan ilmiah, budaya akademik ini menjadi sumber dari 3 jenis aktivitas, yakni 1) kegiatan mencari pengetahuan baru secara terus menerus; 2) kegiatan mencari kebenaran secara terus menerus; dan 3) aktivitas menjaga secara terus menerus, agar ilmu serta pengetahuan yang telah di kembangkan tidak di cemari oleh kepalsuan dan kebohongan.
Inilah budaya akademik, yang saya pikir, perlu di tumbuh suburkan di kampus tercinta STAIN Purwokerto, kampus putih. Mahasiswa secara kritis, sudah tidak lagi disibukkan dengan pertentangan ideologi, tetapi harus sudah merambah ke penguatan ide. Ide inilah yang nantinya menyatukan persepsi dan pemikiran, yang hakekatnya untuk mencari kebenaran sebuah kebijakan, dalam hal ini saya contohkan pada kebijakan kampus. Ketika mahasiswa kritis arti kebenaran pun akan terterawang.   
Mahasiswa kritis, menghasilkan kreatifitas. Aktifits mahasiswa saat ini sangatlah terlihat jelas, dan tidak lepas dari komponen ini, kampus, perpus, kos/pondok dan kantin. Ke kampus untuk sekedar duduk manis mendengar celoteh dari abdi kampus(dosen), duduk di belakang paling pojok dan tidak jarang manggut-manggut kantuk kemudian pulas, sesekali ke perpus hanya untuk memenuhi tugas kampus, sekedar cari buku dan log in kartu perpus. Kos/pondok menjadi tempat tongkrongan utamannya, di kos menjadi markas strategis untuk bermalas-malasan mungkin, saling bersautan mendeskripsikan abdi kampus(dosen) yang di rasa menyebalkan, di pondok tidak beda jauh dengan kos, hanya berbeda di antusiasnya mendalami ilmu agama di banding di kos dan kantin menjadi salah satu sumber inspirasi utama berangkat kuliah.
Pertanyaanya, di mana sisi intelektual mahasiswa sekarang ini. Bukan pesimis, tapi itu kenyataan yang bisa di dapat, toh tidak semua mahasiswa menerima keadaan ini. Budaya diskusi, belajar organisasi, dan menjadi kutu buku, bisa di katakan sebagai salah satu tolak ukur bentuk antusiasme pada pengetahuan. Tapi betul, apa yang di sebut sebagai ketakutan akademik, masih ada di pikiran kawan mahasiswa. Cenderung menutup diri (ekslusif) dari diskusi, organisasi, maupun presentasi pengetahuan. Paradigma pun akan muncul, bahwasannya diskusi, dan organisasi tidaklah berfungsi bagi diri.
Implikasi kritis ini, akan merasuki jiwa kreatifitasnya. Logikanya, mereka yang kritis tentunya akan selalu berpikir, memastikan otaknya terus berputar. Sebagai deskripsi, mahasiswa pergi ke pasar bukan sekedar latihan menawar ataupun belanja, tetapi melihat sisi lain. Melihat apa yang bisa laku di situ. Dan kreatifitas itu, tidak hanya di identikan dengan penjual jajan, operator pulsa berjalan, atau mereka yang sekedar menawarkan buku kuliah, ataupun batik kuliah di kampus. Tapi kreatifitas di sini lebih universal. Dan tidak salah, bila kreatifitas di persepsikan semacam itu.
Mereka yang mampu mengembangkan nalar kritisnya, menjadi karya fenomenal yang tak lagi abstrak, merupakan kesatuan bentuk kreatifitas keilmuan yang di miliki. Mampu meretas kreatifitas, dari pemikiran kritis. Salah satu bentuk kreatifitas itu, di wujudkan dengan torehan catatan emas ilmiahnya, cerpen, puisi, ataupun artikel pengubah paradigma kolot mahasiswa. Gnosis dan praksis haruslah selalu menjadi bagian. Tidak salah, ketika semakin kritis konsep pemikiran mahasiswa, maka semakin kreatif pula menelurkan karya terbaiknya.
Dan akhirnya, paradigma kritis itu harus mulai di tata. Merenungi pula, bentuk kreatifitas seperti apa saja dari implikasi sikap kritis itu. Berbisnis, dan karya dari ilmu, salah satu hasil dari kritis itu. Ingat, mahasiswa adalah agen perubahan, agen sosial dan intelektual muda yakni mereka yang tercerahkan dan mencerahkan (ali syariati).


Tuhan memberi kecerdasan
agar dapat membedakan benda-benda,
Dan Dia memberi pengetahuan agar dapat menimbang dan berfikir
(Fariduddin Attar).        
            

Tidak ada komentar: