Rabu, 30 April 2014

INTERAKSI SOSIAL ANTARA GURU DENGAN MURID



JURNAL PENDIDIKAN: INTERAKSI SOSIAL ANTARA GURU DENGAN MURID
Semenjak manusia dilahirkan akan tumbuh dan berkembang dengan melalui interaksi sosial yang mereka kembangkan. Oleh sebab itu banyak ahli sosiologi mengatakan bahwa inti proses sosial ada pada interaksi sosial. Pada saat itu pula secara berangsur-angsur mulai tumbuh pengenalan akan norma. Norma  tersebut antara lain adalah norma sosial, norma keluarga, norma agama (Judistira Ghrama, 1991:4). Norma-norma tadi sebenarnya dapat digeneralisasikan hampir sama pada setiap masyarakat manusia. Hanya yang membedakan adalah nilai-nilai yang melekat.
Pada norma tersebut (Soedjatmoko, 1973:30). Pokok utama pengenalan norma tadi kebanyakan melalui inteaksi sosial. Sebagao contoh kongkrit tentang norma; seseorang dapat dikategorikan berhasil dalam pendidikan formal apabila telah memenuhi tuntutan norma yang melekat. Norma tersebut antara lain lulus ujian pada tingkat tertentu, atau pada jenjang pendidikkan tertentu yang dituntutnya. Norma ini juga akan mengiring seseorang pada tataran/jenjang tertentu dalam proses pendidikan.
Norma pendidikan serupa ini ditegaskan oleh Harahap (1979:17) bahwa norma itu merupakan kriteria atau ukuran tentang sesuatu untuk menentukan sesuatu itu buruk, baik, gagal atau berhasil. Kaitannya dengan dengan tugas guru, berarti guru yang juga bertugas memberikan penilaian, ini berarti juga menerapkan norma pada sesuatu. Sesuatu tadi diantarnya proses hasil belajar. uraian tersebut jika didefenisikan secara padat itulah disebut prestasi belajar. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses kegiatan yang merupakan interaksi sejumlah komponen Belajar-Mengajar dengan diri siswa. Kemudian dihubungkan dengan norma tertentu yang distandardisir serta terukur.
1.     Adapun yang termasuk dalam komponen Belajar-Mengajar dari pihak guru ialah, intensitas guru memberikan pelajaran, cara atau metoda mengajar, bimbingan yang diberikan guru sehingga terjadi proses pemahaman dalam belajar. Surahmad (1973:162) lebih jauh menjelaskan bahwa pemahaman belajar itu akan terbentuk apabila:
1.     belajar terjadi dalam kondisi yang berarti secara individual
2.     adanya interaksi sosial yang intens antara guru dengan murid
3.     hasil pelajaran adalah kebulatan tingkah laku,
4.     siswa menghadapi secara pribadi,
5.     belajar adalah mengalami.
Berkaitan dengan point dua di atas maka keputusan pemerintah untuk mengembangkan konsep kokurikuler dalam kegiatan Proses Belajar-Mengajar adalah suatu yang tepat. Sebab interaksi sosial paling dimungkinkan dalam rangka pengembangan tugas-tugas kokurikuler. Adapun pengertian kokurikuler sendiri diartikan sebagai kegiatan diluar jam pelajaran biasa yang bertujuan agar siswa lebih mendalami dan menghayati apa yang dipelajarinya pada kegiatan intrakurikuler baik program inti maupun program khusus (Team Penyusun Instruksional Dirjen Dikdasmen, 1985:1). Dengan kegiatan kokurikuler ini akan terjalin interaksi sosial antara guru dan murid, sehingga terbentuklah suasana belajar yang kondusif.
Lebih lanjut dalam petunjuk teknis dijelaskan bahwa kegiatan kokurikuler hendaknya dilaksanakan secara perorangan atau kelompok berupa penugasan yang menjadi pemasangan penugasan tatap muka. Oleh sebab peran interaksi sosial antara guru dengan murid untuk mengembangkan tugas-tugas kokurikuler menjadi begitu penting. Ini dapat dilihat dari porsi waktu yang diberikan untuk kegiatan kokurikuler, seperti yang tertuang dalam Juknis Dikdasmen (1985:3) bahwa banyaknya waktu kegiatan kokurikuler adalah stengah kali kegiatan tatap muka perminggu. Jika guru mampu memanfaatkan pola-pola hubungan interksional dengan muridnya melalui media kokurikuler ini, maka tidak mustahil wibawa guru akan terbentuk. Kewibawaan ini muncul karena murid mengalami sendiri peran bimbingan guru. Kewibawaan sendiri dalam proses belajar-mengajar adalah sesuatu yang diperlukan.
INTERAKSI SOSIAL
Peluang seperti ini jika dilihat secara mendalam dengan menggunakan kacamata teori fiducary yang dikemukakan oleh Tallcot Parsons (1978:12), ternyata bahwa medan interaksi sosial dapat membangun kedekatan jarak ini akan membuahkan tingkat keintiman antara pelaku sosial. Dengan keadaan demikian ini berakibat pada sikap saling terbuka untuk saling memahami, saling menghayati antara satu dengan yang lain. Munculnya pemahaman ini karena munculnya empaty antara guru dengan muridnya. Empaty yang dikemukankan mampu merasakan yang orang lain rasakan, adalah suatu tataran tingkat tinggi dari proses sosial melalui interaksi sosial.
Lebih jauh teori fiducary menggambar bahwa pada saat orang berinteraksi jika digambarkan akan diperoleh gambaran sebagai berikut:                                                  
Individu A berinteraksi dengan individu B akan membentuk bangun medan fiducary (C). Semakin inten pergaulan antara A dan B akan semakin melebar medan fiducary. Walaupun tidak mungkin secara signifikan penuh membentuk medan tersebut.
Pada medan fiducary itu dinamika interaksi sosial berlangsung. Oleh sebab itu Soekamto (1990:67) mengatakan proses sosial. Lebih lanjut dijelaskan muatan yang ada dalam medan fiducary ini ialah adanya proses imitasi, sugesti, identifikasi, simpati. Muatan tersebut bisa berjalan sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Asalkan dua syarat harus dipenuhi yaitu, (1) adanya kontak sosial yang terus menerus dan, (2) ada komunikasi yang terus menerus. Kegiatan belajar-Mengajar antara guru dengan siswanya merupakan salah satu bentuk kontak sosial yang terus menerus. Kontak sosial ini akan terus terbangun jika komunikasi yang mereka kembangkan juga akan berlangsung secara terus menerus. Kontak sosial yang hanya dibangun pada saat kegiatan kurikuler, belum begitu cukup untuk membentuk medan fiducary yang bermakna dalam pendidikan. Melalui kegiatan kokurikuler, diharapkan akan menambah frekuensi dan makna interaksi sosial, sehingga proses pendidikan untuk menuju kekedewasaan yang mandiri akan segera tercapai.
Pembahasan
Seperti telah disinggung bahwa proses pendidikan berlangsung bahwa proses pendidikan berlangsung atas dasar proses kontak sosial yang berjalan terus menerus juga komunikasi yang terus menerus. Pada proses ini berlangsung transfer ilmu pengetahuan, perilaku, dan sikap sosial. Wujud nyatanya secara sosiologis dapat berawal dari simpati sugesti, identifikasi dan imitasi.
Pendidikan formal yang berlangsung secara non formal melalui kegiatan kokurikuler, akan mempermudah terbentuknya kontak sosial yang menciptakan medan fiducary, dengan seluruh muatannya. Akibat lanjut proses pendidikan akan berjalan menjadi akan berjalan menjadi begitu alami. Keadaan ini akan menjadi semakin baik lagi manakala guru tetap pada koridor gezah. Oleh Langeveld (Mustopa, Achyat, 1978:12) di jelaskan bahwa gezah-lah yang membedakan pergaulan biasa dengan pergaulan pendidikan pergaulan yang bermuatan gezah ini pergaulan yang penuh  tanggung jawab antara guru dan murid. Prosesnya penuh dengan muatan pembentukan watak dan kepribadian.
Kepatuhan murid terhadap guru bukan kepatuhan karena takut, akan tetapi kepatuhan karena keprofesionalan guru. Hubungan keprofesionalan ini begitu kental manakala guru mampu menunjukkan dan membimbing muridnya kepada langkah-langkah pendidikan yang telah diprogramkan. Sekaligus dalam hal ini guru menjadi pengasuh agar murid mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perjalanan kodrat manusianya.
Hubungan sosial demikian sangat diperlukan pada dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang penuh muatan interaksi sosial, menjadi sangat positif apabila ada keseimbangan dalam pola hubungan. Pola keseimbangan dimaksud adalah pola hubungan timbal balik yang berlaku dua arah, dalam arti pada posisi tertentu murid dapat bermitra dengan gurunya. Kemitraan dimaksud dalam rangka proses pendidikan. Kemitraan guru dan murid ini dalam pendidikan diwadahi dalam kegiatan kokurikuler.
Hasil penelitian yang dilakukan khusus mengenai   kegiatan kokurikuler pada mata pelajaran Bahasa Inggris di SLTP (Sudjarwo, 1993), menunjukan bahwa siswa yang memiliki frekuensi tinggi berhubungan dengan gurunya, memiliki kesempatan yang banyak untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan interaksi sosial dengan guru akan mengakibatkan berpeluang besar untuk membesarkan medan fiducary.
Atas dasar itu, maka proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi. Termasuk dalam proses ini meliputi antara lain;
a.      Kerjasama
Kerjasama yang diberi makna oleh Soekamto (1990:79) sebagai suatu usaha bersama antara perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.
Kondisi ini jika dilihat di dunia pendidikan,maka kegiatan kokurikuler merupakan media untuk membangun hubungan kerja sama antara guru dengan murid dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
       b. Akomodasi.
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti ( Soekamto,1990:82 ) yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan, dan menunjukan pada suatu proses. Akomodasi yang menunjukan pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku interaksi dengan nilai-nilai sosial atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses menunjukan pada usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan suatu pertentangan karena ketidak sepahaman,guna mencapai suatu kestabilan.
Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses. Melalui kegiatan kokurikuler diharapkan terbentuk saling pengertian antar guru dengan murid sesuai dengan posisi masing-masing.Pertentangan karena ketidak tahuan keadaan diri pada masing-masing pelaku interaksi. Dapat terjembatani oleh karena adanya kegiatan kokurikuler antara guru dengan murid.
Dengan demikian kegiatan kokurikuler sbenarnya memiliki nilai positif jika dilihat dari aspek proses Belajar Mengajar.Karena mendudukan guru dan murid pada garis sejajar. Maksudnya adalah proses belajar-mengajar adalah proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar.Proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan murid adalah pekerjaan pendidikan yang cukup sulit.
Guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangka memilah, lingkungan yang bagaimana yang harus diciptakan sehingga kemudian akan menjadikan proses pendidikan berlangsung.Proses penciptaan lingkungan sendiri sudah harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali.Mengelola keduanya untuk dapat dikaitkan dengan murid sehingga terjadi proses sosialisasi nilai.
Proses sosialisasi nilai-nilai edukatif akan sangat besar peluangnya untuk terjadi jika dilaksanakan dengan pola kokurikuler.Oleh sebab itu kegiatan kokurikuler sangat menunjang untuk dapat menjadikan program pengajaran diterima oleh murid. Dengan demikian itu wujud pengorganisiran lingkungan menjadi bermakna secarasosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambi oleh siswa. Manfaat tersebut untuk jangka panjang akan membawa murid mencapai kedewasaan yang mandiri
REVIEW
Kegiatan kokurikuler yang dikembangkan untuk prosesbelajar, adalah suatu yang sangat tepat jika diterapkan secara terprogram. Aktivitas kokurikuler akan berhasil dengan baik manakal guru mampu memprogram kegiatan kokurikuler dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimilikioleh siswa. Potensi tersebut meliputi; keinginan untuk berhubungan dengan orang lain,mengaktualisasikan dirinya dengan dunia ,melalui bimbingan guru.
Dengan melaksanakan kegiatan kokurikuler tersebut bpekerjaan guru menjadi semakin berat.Diakui bahwa mendesain kegiatan kokurikuler memerlukan pelatihan dan kesiapan yang tidak mudah. Namun demikian jika sistem ini diterapkan sekalipun minimal, maka akan dapat dirasakan dampaknya terhadap kemajuan belajar para murid.
Kegiatan interaksi sosial yang di lakukan, pada dasarnya mendudukan antara peserta didik dan pendidik pada posisi yang sejajar, dengan selalu memperhatikan keprofesionalan. Pendidik dalam hal ini, bersifat sebagai pembimbing belajar yang menghantarkan peserta didik dalam mengembangkan potensi yang ada. Dan, proses itu nantinya akan memunculkan interaksi dua arah atau adanya feedback dalam proses pembelajaran.  
Proses interaksi sosial yang pada terjadi dasarnya untuk sosialisasi seperti kerjasama dan akomodasi. Yang pada dasarnya, sosialisasi ini untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan adanya proses interaksi ini, maka hubungan peserta didik akan berjalan efektif. Kepatuhan peserta didik kepada guru, bukan di dasarkan pada ketakutan, tetapi karena keprofesionalan guru dalam melakukan interaksi terhadap peserta didik dengan mengedepankan kemampuan dalam proses pembelajaran. Dengan adanya kegiatan kokurikuler, di harapkan bisa meningkatkan lagi proses interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran, secara tidak langsung potensi akan lebih berkembang yang akan berpengaruh pada prestasi belajar siswa.   

DESAIN PEMBELAJARAN

DESAIN PEMBALAJARAN MENURUT AHLI

1.              Desain pembelajaran sebagai disiplin, membahas berbagai penelitian dan teori tentang strategi serta proses pengembangan pembelajaran dan pelaksanaannya.
2.  Desain pembelajaran sebagai ilmu, merupakan ilmu untuk menciptakan spesifikasi pengembangan, pelaksanaan, penilaian serta pengelolaan situasi yang memberikan fasilitas pelayanan pembelajaran dalam skala makro dam mikro untuk berbagai mata pelajaran pada berbagai tingkatan kompleksitas.
3.  Desain pembelajaran sebagai sistem, merupakan pengembangan sistem pembelajaran dan sistem pelaksanaannya termasuk sarana serta prosedur untuk meningkatkan mutu belajar.
4.    Desain pembelajaran sebagai proses, merupakan pengembangan pengajaran secara sistematik yang di gunakana secara khusus teori – teori pembelajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran.
  
KOMPONEN – KOMPONEN DESAIN PEMBELAJARAN
Beberapa Komponen dalam desain pembelajaran:
1.     Tujuan
2.     Peserta Didik
3.     Bahan atau materi
4.     Strategi
5.     Penilaian
6.     Pendidik atau guru

MODEL – MODEL DESAIN PEMBELAJARAN

Model ini terdiri dari :
Model berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro (kelas) yang hanya dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ASSURE

Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu produk, biasanya media pembelajaran, misalnya video pembelajaran, multimedia pembelajaran, atau modul. Contoh modelnya adalah model hannafin and peck.

Model beroreintasi sistem yaitu model desain
pembelajaran untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannya luas, seperti desain sistem suatu pelatihan, kurikulum sekolah, dll. contohnya adalah model ADDIE.

Berikut penjelasan beberapa model desain pmbelajaran:

1.     Model ASSURE
Merupakan suatu model yang merupakan sebuah formulasi untuk kegiatan belajar mengajar atau disebut juga model berorientasi kelas. Menurut Heinich et al (2005) model ini terdiri atas 6 langkah kegiatan yaitu :
a.      Analyze Learners
Ada tiga hal penting dapat dilakuan untuk mengenal pelajar, yaitu : berdasarkan ciri-ciri umum, keterampilan awal dan gaya belajar
b.     States Objectives
Adalah tahapan ketika menentukan tujuan pembelajaran baik berdasarkan buku atau kurikulum
c.      Select Methods, Media, and Material (Pemilihan Metode, Media dan Bahan)
Ada tiga hal penting dalam pemilihan metode, bahan dan media yaitu menentukan metode yang sesuai, memilih media yang sesuai , memilih dan atau mendesain media yang telah ditentukan.
d.     Utilize Media and Material materials (Penggunaan Media dan bahan); Terdapat lima langkah bagi penggunaan media yang baik yaitu, preview bahan, sediakan bahan, sediakan persekitaran, pelajar dan pengalaman pembelajaran.

e.      Require Learner Participation
(Partisipasi Pelajar di dalam kelas); Sebelum pelajar dinilai secara formal, pelajar perlu dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran seperti memecahkan masalah, simulasi, kuis atau presentasi.
f.      Evaluate and Revise (Penilaian dan Revisi)
Penilaian yang dimaksud melibatkan beberapa aspek diantaranya menilai pencapaian pelajar, pembelajaran yang dihasilkan, memilih metode dan media, kualitas media, penggunaan guru dan penggunaan pelajar.

2.     Model ADDIE
ADDIE (Analysis-Design-Develop-Implement-Evaluate) muncul pada tahun 1990an yang di kembangkan oleh Reiser dan Mallenda. Salah satu fungsinya yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat dan infrastruktur program pelatihan yang efektif, dinamis, dan mendukung kinerja pelatihan itu sendiri.
Model ini menggunakan 5 tahap pengembangan yaitu :
1.     Analysis (analisa)
2.     Design (disain / perancangan)
3.     Development (pengembangan)
4.     Implementation (implementasi/eksekusi)
5.     Evaluation (evaluasi/ umpan balik)



3.     Model DICK and CARREY
Model ini termasuk ke dalam model prosedural. Model Dick and Carey terdiri dari 10 langkah. Setiap langkah sangat jelas maksud dan tujuannya sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk mempelajari model desain yang lain. Menurut Dick and Carrey, ke 10 langkah tersebut adalah :

a.      Mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran
b.     Melaksanakan analisis pembelajaran
c.      Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa
d.     Merumuskan tujuan performansi
e.      Mengembangkan butir-butir tes acuan patokan
f.      Mengembangkan strategi pembelajaran
g.     Mengembangkan dan memilih materi pembelajaran
h.     Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif
i.       Merevisi bahan pembelajaran
j.       Mendesain dan melaksanakan eveluasi sumatif

4.     Model KEMP
Model Kemp termasuk ke dalam contoh model melingkar, jika di tunjukan dalam sebuah diagram.
Secara singkat model ini terdapat beberapa langkah dalam penyusunan sebuah bahan ajar yaitu :
 

a.      Menentukan tujuan dan daftar topik
b.     Menganalisis karakteristik pelajar
c.      Menetapkan tujuan pembelajaran
d.     Menentukan isi materi pembelajaran
e.      Pengembangan pra penilaian atau penilaian awal
f.      Memilih aktivitas pembelajaran dan sumber pembelajaran yang menyenangkan atau menentukan strategi belajar mengajar
g.     Menkoordinasi dukungan pelayanan atau sarana penunjang
h.     Mengevaluasi pembelajaran

5.     Model HANAFIN dan PECK
Model ini adalah model desain pembelajaran berorientasi produk.
model desain pengajaran ini, terdiri daripada tiga fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi (Hannafin & Peck 1988).
1.     Fase Analisis Keperluan
Fase ini untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dalam mengembangkan suatu media pembelajaran termasuk tujuan dan objek media pembelajaran yang di buat, pengetahuan dan kemahiran yang di perlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan media pembelajaran.

2.     Fase desain
Dalam fase ini informasi dari fase analisis di pindahkan ke dalam bentuk dokumen yang akan tujuan pembuatan media pembelajaran. fase desain ini bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaedah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media tersebut.
Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam fase ini ialah dokumen story board
3.     Fase pengembangan dan implementasi.
aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alur yang dapat membantu proses pembuatan media pembelajaran.

REFERENSI

Hamalik, Oemar. 2010. Proses belajar mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
http:// www.tklb.org/documents/konsep-dasardesain_pembelajaran.pdf.